Sistem Pemerintahan Demokrasi Berdasarkan Pancasila


Pada halaman ini akan dibahas mengenai Sistem Pemerintahan Demokrasi Berdasarkan Pancasila. Semua informasi ini kami rangkum dari berbagai sumber. Semoga memberikan faedah bagi kita semua.


Sistem Pemerintahan Demokrasi Berdasarkan Pancasila
Sistem Pemerintahan Demokrasi Berdasarkan Pancasila

Sistem pemerintahan demokrasi merupakan pemerintahan yang dekat dengan fitrah hati nurani rakyat, karena manusia diciptakan dan dilahirkan dalam keadaan bebas. Dalam pemerintahan demokrasi pelaksanaan pemerintahan oleh rakyat disertai dengan tangggung jawab.
Pendapat dari para pakar ilmu politik menyatakan bahwa dalam sistem pemerintahan demokrasi akan mengandung prinsip-prinsip sebagai berikut.
1. Semua warga negara berpartisipasi dalam pembuatan keputusan. Jika warga negara tidak berpartisipasi maka pemerintah tidak boleh membuat kebijakan yang bertentangan dengan keinginan rakyat.
2. Setiap warga negara mempunyai persamaan yang sama di depan hukum (equality before the law).
3. Pendapatan negara didistribusikan secara adil bagi seluruh warga negara.
4. Semua rakyat harus diberi kesempatan yang sama dalam memperoleh pendidikan.
5. Adanya kebebasan mengemukakan pendapat, berkumpul, dan beragama.
6. Semua warga negara berhak mendapat informasi tanpa batas.
7. Semua warga negara mengindahkan tata krama politik.
8. Adanya semangat kerja sama dalam setiap kegiatan.
9. Adanya hak untuk protes atau mengkritik atas kebijakan pemerintah.

Prinsip-prinsip pemerintahan demokrasi perlu diperhatikan oleh pemerintah yang berkuasa. Demikian pula halnya dengan Pemerintah Indonesia yang berdasarkan Pancasila, penerapan sistem pemerintahannya didasarkan pada ajaran demokrasi. Hal ini dapat dilihat pada alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pada kalimat “...negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat...”. Selanjutnya, pada Sila Keempat dari Pancasila yang juga terdapat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Kemudian, hal tersebut dijabarkan dalam Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan “Kedaulatan berada di tangan rakyat ...”.

Dengan demikian, membicarakan sistem pemerintahan pada dasarnya membicarakan bagaimana pembagian kekuasaan dilakukan serta hubungan antara lembaga-lembaga negara yang menjalankan kekuasaan negara itu dalam rangka menyelenggarakan kepentingan rakyat.
Sistem pemerintahan merupakan gabungan dari dua istilah, sistem dan pemerintahan. Sistem adalah suatu keseluruhan yang terdiri dari beberapa bagian yang mempunyai hubungan fungsional, baik antara bagian-bagian maupun hubungan fungsional terhadap keseluruhannya sehingga hubungan itu menimbulkan suatu ketergantungan antara bagian-bagian yang akibatnya jika salah satu bagian tidak bekerja dengan baik maka akan mempengaruhi keseluruhannya itu.

Ditinjau dari segi pembagian kekuasaannya, organisasi pemerintah itu dibagi menurut garis horizontal dan vertikal. Pembagian kekuasaan secara horizontal didasarkan atas sifat tugas yang berbeda-beda jenisnya, yang menimbulkan berbagai macam lembaga di dalam suatu negara. Adapun, pembagian kekuasaan secara vertikal melahirkan dua garis hubungan antara pusat dan daerah dalam sistem desentralisasi dan dekonsentrasi. 

Pengertian Pemerintahan Dalam arti luas 

  • Dalam arti luas,
    pemerintahan adalah perbuatan memerintah yang dilakukan oleh badan-badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif di suatu negara dalam rangka mencapai tujuan penyelenggaraan negara.
  • Dalam arti sempit
    Dalam arti sempit, pemerintahan adalah perbuatan memerintah yang dilakukan oleh badan eksekutif beserta jajarannya dalam rangka mencapai tujuan penyelenggaraan negara.

Menurut ahli ilmu pemerintahan
Istilah pemerintahan mempunyai pengertian yang tidak sama. Beberapa pengertian tersebut adalah sebagai berikut.
a. Pemerintahan sebagai gabungan dari semua badan kenegaraan yang berkuasa memerintah. Jadi, yang termasuk badan-badan kenegaraan di sini bertugas menyelenggarakan kesejahteraan umum, misalnya badan legislatif, badan eksekutif, dan badan yudikatif.
b. Pemerintahan sebagai gabungan badan-badan kenegaraan tertinggi yang berkuasa memerintah di wilayah satu negara, misalnya raja, presiden, atau Yang Dipertuan Agung (Malaysia).
c. Pemerintahan dalam arti kepala negara (presiden) bersama dengan kabinetnya.
Adapun, sistem pemerintahan diartikan sebagai suatu tatanan utuh yang terdiri atas berbagai komponen pemerintahan yang bekerja saling bergantung dan mempengaruhi dalam mencapai tujuan dan fungsi pemerintahan. Komponen-komponen tersebut secara garis besar meliputi lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Jadi, sistem pemerintahan negara menggambarkan adanya lembaga-lembaga negara, hubungan antarlembaga negara, dan bekerjanya lembaga negara dalam mencapai tujuan pemerintahan negara yang bersangkutan. 

1. Sistem Pemerintahan Presidensial 
Kedudukan eksekutif dalam sistem pemerintahan presidensial tidak bergantung pada badan perwakilan rakyat. Adapun, dasar hukum dari kekuasaan eksekutif dikembalikan kepada pemilihan rakyat. Sebagai kepala eksekutif, presiden menunjuk pembantu-pembantunya yang akan memimpin departemennya masing-masing dan mereka itu hanya bertanggung jawab kepada presiden. Karena pembentukan kabinet itu tidak bergantung pada badan perwakilan rakyat atau tidak memerlukan dukungan kepercayaan dari badan perwakilan rakyat, maka menteri pun tidak bisa diberhentikan oleh badan perwakilan rakyat. 

Sistem ini terdapat di Amerika Serikat yang mempertahankan ajaran Montesquieu, yakni kedudukan tiga kekuasaan negara yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif terpisah satu sama lain secara tajam dan saling menguji serta saling mengadakan perimbangan (check and balance). Kekuasaan membuat undang-undang berada di tangan congress, namun presiden mempunyai hak veto terhadap undang-undang yang sudah dibuat itu. Kekuasaan eksekutif ada pada presiden dan pemimpin-pemimpin departemen, yaitu para menteri yang tidak bertanggung jawab pada parlemen. Karena presiden dipilih oleh rakyat, maka sebagai kepala eksekutif ia hanya bertanggung jawab kepada rakyat. 

Tugas peradilan dilakukan oleh badan-badan peradilan yang pada azasnya tidak boleh dipengaruhi oleh kekuasaan lain. Hakim diangkat seumur hidup selama kepribadiannya tidak tercela dan ada sebagian hakim yang dipilih oleh rakyat. 
Badan eksekutif dan legislatif memiliki kedudukan yang independen dalam sistem pemerintahan presidensial. Kedua badan tersebut tidak berhubungan secara lansung seperti dalam sistem pemerintahan parlementer. Kedua badan tersebut dipilih oleh rakyat secara terpisah. 

a. Ciri-ciri Sistem Pemerintahan Presidensial 
1) Penyelenggara negara berada di tangan presiden. Presiden adalah kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan. Presiden tidak dipilih oleh parlemen, tetapi dipilih langsung oleh rakyat atau suatu dewan/majelis.
2) Kabinet (dewan menteri) dibentuk oleh presiden. Kabinet bertanggung jawab kepada presiden dan tidak bertanggung jawab kepada parlemen/legislatif.
3) Presiden tidak bertanggung jawab kepada parlemen karena ia tidak dipilih oleh parlemen.
4) Presiden tidak dapat membubarkan parlemen seperti dalam sistem parlementer.
5) Parlemen memiliki kekuasaan legislatif dan menjabat sebagai lembaga perwakilan. Anggotanya pun dipilih oleh rakyat.
6) Presiden tidak berada di bawah pengawasan langsung parlemen.

b. Kelebihan dan Kekurangan Sistem Pemerintahan Presidensial
Kelebihan sistem presidensial adalah sebagai berikut.
1) Badan eksekutif lebih stabil kedudukannya karena tidak bergantung pada parlemen.
2) Masa jabatan badan eksekutif lebih jelas dengan jangka waktu tertentu. Misalnya, masa jabatan presiden Amerika Serikat adalah 4 tahun dan presiden Indonesia selama 5 tahun.
3) Penyusunan program kerja kabinet mudah disesuaikan dengan jangka waktu masa jabatannya.
4) Jabatan-jabatan eksekutif dapat diisi oleh orang luar, termasuk anggota parlemen sendiri. Namun, legislatif bukan tempat kaderisasi untuk jabatan-jabatan eksekutif.

Adapun kekurangannya adalah sebagai berikut.
1) Kekuasaan eksekutif berada di luar pengawasan langsung legislatif sehingga dapat menciptakan kekuasaan mutlak.
2) Sistem pertanggungjawabannya kurang jelas.
3) Pembuatan keputusan/kebijakan publik umumnya hasil tawar-menawar antara eksekutif dengan legislatif sehingga dapat terjadi keputusan tidak tegas dan memakan waktu yang lama.

Menyadari adanya kelemahan dari masing-masing sistem pemerintahan, negara-negara pun berusaha memperbaharui dan berupaya mengkombinasikan sistem pemerintahannya. Hal ini dimaksudkan agar kelemahan tersebut dapat dicegah atau dikendalikan. Misalnya, Amerika Serikat yang menggunakan sistem presidensial, untuk mencegah kekuasaan presiden yang besar diadakanlah mekanisme checks and balances, terutama antara eksekutif dan legislatif.

1. Sistem Pemerintahan Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 
Masalah demokrasi di Indonesia diatur dalam Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. 

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak menganut sistem pemisahan kekuasaan Trias Politica sebagaimana yang diajarkan Montesquieu, melainkan menganut sistem pembagian kekuasaan. Hal tersebut disebabkan beberapa hal berikut. 

a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak membatasi secara tajam, bahwa tiap kekuasaan itu harus dilakukan oleh suatu organisasi/badan tertentu yang tidak boleh saling campur tangan. 

b) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak membatasi kekuasaan dibagi atas 3 bagian saja dan juga tidak membatasi kekuasaan dilakukan oleh 3 bagian saja.

c) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak membagi habis kekuasaan rakyat yang dilakukan MPR, Pasal 1 Ayat (2), kepada lembaga-lembaga negara lainnya.

a. Pokok-Pokok Sistem Pemerintahan Indonesia 
Pokok-pokok Sistem Pemerintahan Indonesia sebagaimana termuat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 adalah sebagai berikut. 
Bentuk negara kesatuan dengan prinsip otonomi yang luas. Wilayah negara Indonesia terbagi dalam beberapa provinsi. 

Bentuk pemerintahan adalah republik dan sistem pemerintahan adalah presidensial.
Presiden adalah kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan.
Menteri-menteri diangkat oleh presiden dan bertanggung jawab pada presiden.

Parlemen terdiri atas 2 bagian (bikameral), yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Para anggota DPR dan DPD merupakan anggota MPR. DPR terdiri atas para wakil rakyat yang dipilih melalui pemilu dengan sistem proporsional terbuka. Anggota DPD adalah para wakil dari masing-masing provinsi yang berjumlah 4 orang dari tiap provinsi. Anggota DPD dipilih oleh rakyat melalui pemilu dengan sistem distrik perwakilan. Selain lembaga DPR dan DPD, terdapat DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota yang anggotanya juga dipilih melaui pemilu. DPR memiliki kekuasaan legislatif dan kekuasaan mengawasi jalannya pemerintahan.

Kekuasaan yudikatif dijalankan oleh Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, dan badan peradilan di bawahnya, yaitu pengadilan negeri dan pengadilan tinggi. 
Sistem pemerintahan negara Indonesia menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang diamandemen pada dasarnya masih menganut Sistem Pemerintahan Presidensial. Hal ini dibuktikan bahwa Presiden Republik Indonesia adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Presiden juga berada di luar pengawasan langsung DPR dan tidak bertanggung jawab pada parlemen. Namun, sistem pemerintahan ini juga mengambil unsur-unsur dari sistem parlementer dan melakukan pembaharuan untuk menghilangkan kelemahan-kelemahan yang ada dalam sistem presidensial. 

b. Sistem Pemerintahan Presidensial Republik Indonesia 
Beberapa ciri dari Sistem Pemerintahan Presidensial Republik Indonesia adalah sebagai berikut. 
Presiden sewaktu-waktu dapat diberhentikan oleh MPR atas usul DPR. Jadi, DPR tetap memiliki kekuasaan mengawasi presiden meskipun secara tidak langsung.
Presiden dalam mengangkat pejabat negara perlu mendapat pertimbangan dan/atau persetujuan DPR. Contohnya, dalam pengangkatan Duta Besar, Gubernur Bank Indonesia, Panglima TNI dan Kepala Kepolisian RI (Kapolri).
Presiden dalam mengeluarkan kebijakan tertentu perlu mendapat pertimbangan dan/atau persetujuan DPR. Contohnya pembuatan perjanjian internasional, pemberian gelar, tanda jasa, tanda kehormatan, pemberian amnesti dan abolisi.
Parlemen diberi kekuasaan yang lebih besar dalam hal membentuk undang-undang dan hak budget (anggaran).
Dengan demikian, terdapat perubahan-perubahan dalam sistem pemerintahan Indonesia. Hal itu diperuntukkan dalam memperbaiki sistem presidensial yang lama. Perubahan tersebut antara lain, adanya pemilihan presiden secara langsung, sistem bikameral, mekanisme cheks and balances, dan pemberian kekuasaan yang lebih besar pada parlemen untuk melakukan pengawasan dan fungsi anggaran.

c. Impeachment Presiden Republik Indonesia
Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 membawa perubahan yang signifikan terhadap eksistensi MPR. MPR tidak lagi memiliki wewenang memilih Presiden dan Wakil Presiden. Namun demikian, MPR masih tetap memiliki wewenang melakukan impeachment terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya apabila yang bersangkutan terbukti telah melakukan pelanggaran hukum. Impeachment Presiden sering diungkapkan oleh masyarakat luas sebagai istilah yang menunjukkan sebagai pemberhentian Presiden. Impeachment atau pemakzulan lebih lazim dimaksudkan sebagai dakwaan untuk memberhentikan Presiden 

Sesungguhnya, kedudukan Presiden dalam sistem pemerintahan presidensial sangat kuat. Sistem ini dimaksudkan untuk menciptakan pemerintahan yang stabil dalam jangka waktu tertentu. Dalam sistem ini ditentukan masa jabatan Presiden untuk jangka waktu tertentu (Fix Term Office Periode). Presiden dapat diberhentikan dalam jabatannya apabila ia melakukan pelanggaran hukum yang secara tegas diatur dalam UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945. Presiden dan Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam jabatannya apabila terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. 

Mekanisme pemberhentian Presiden diatur dalam Pasal 7B UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Berdasarkan ketentuan UUD ini, lembaga negara yang diberi kewenangan untuk memberhentikan Presiden dalam masa jabatannya adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Namun, sebelum diputus oleh MPR, proses pemberhentian dimulai dengan proses pengawasan terhadap Presiden oleh DPR. Apabila dari pengawasan itu ditemukan adanya pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden yang berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat, perbuatan tercela serta tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden, maka DPR dengan dukungan 2/3 (dua per tiga) jumlah suara dapat mengajukan usulan pemberhentian kepada MPR. Namun, terlebih dahulu meminta putusan dari Mahkamah Konstitusi tentang kesimpulan dan pendapat dari DPR. Dalam hal Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa pendapat DPR itu tidak berdasarkan hukum, maka proses pemberhentian Presiden menjadi gugur. Sebaliknya, jika Mahkamah Konstitusi membenarkan pendapat DPR, maka DPR akan meneruskannya kepada MPR untuk menjatuhkan putusannya, memberhentikan atau tidak memberhentikan Presiden. 
Dengan demikian, pemberhentian Presiden menurut UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945, harus melewati 3 (tiga) lembaga negara yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Mahkamah Konstitusi (MK), serta Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Ketiga lembaga ini memiliki kewenangan berbeda. DPR melakukan penyelidikan dan mencari bukti-bukti serta fakta yang mengukuhkan dugaan adanya pelanggaran pasal mengenai pemberhentian Presiden oleh Presiden (yaitu Pasal 7A UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945) serta mengajukan usul pemberhentian kepada MPR. 

Mahkamah Konstitusi

mengkaji dari segi hukum dan landasan yuridis alasan pemberhentian Presiden. MPR yang akan menjatuhkan vonis politik apakah Presiden diberhentikan atau tetap memangku jabatannya.
DPR sebagai lembaga negara yang memiliki kewenangan untuk mengawasi Presiden dan dapat mengusulkan pemberhentian Presiden di tengah masa jabatannya, tentu tidak steril dari pandangan dan kepentingan politiknya, karena lembaga DPR terdiri dan perwakilan partai-partai politik yang terpilih dalam pemilihan umum. Karena itu, dalam mengajukan usulan pemberhentian Presiden, DPR harus seobyektif mungkin dan memiliki alasan-alasan yang cukup kuat bahwa tindakan/kebijakan Presiden benar-benar telah memenuhi dasar substansial pemberhentian Presiden (sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 7A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945). 

Bagaimana mekanisme DPR untuk menyelidiki adanya pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden, tidak diatur secara tegas dalam UUD. Hanya Pasal 20A Ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memberikan Hak Angket kepada DPR, yaitu hak untuk melakukan penyelidikan terhadap kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan masyarakat dan bangsa yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Dengan adanya hak angket secara implisit UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memberikan kewenangan kepada DPR untuk mengadakan penyelidikan terhadap Presiden. 

Hasil penyelidikan yang dilakukan oleh panitia angket diputuskan oleh DPR dalam rapat paripurna. Jika hasil panitia angket menemukan bukti-bukti bahwa Presiden memenuhi ketentuan Pasal 7A UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan disetujui oleh paripuma DPR dengan dukungan minimum 2/3 suara, maka selanjutnya DPR harus terlebih dahulu membawa kasus itu kepada Mahkamah Konstitusi untuk diperiksa dan diadili sebelum dilanjutkan kepada MPR. 

UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak mengatur secara rinci mengenai proses pemeriksaan atas pendapat DPR di Mahkamah Konstitusi. UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 hanya menentukan bahwa Mahkamah Konstitusi memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan kepada negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan atau pendapat bahwa Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden. Undang- Undang Mahkamah Konstitusi pun tidak mengatur secara rinci mengenai proses pemeriksaan di Mahkamah Konstitusi. Dalam Undang-
Undang Mahkamah Konstitusi hanya diatur mengenai mekanisme pengajuan permohonan, yaitu diajukan oleh DPR selaku Pemohon. DPR harus mengajukan permohonan secara tertulis dan menguraikan secara jelas mengenai dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden kepada Mahkamah Konstitusi dan melampirkan putusan serta proses pengambilan putusan di DPR, risalah dan atau berita acara rapat DPR disertai bukti mengenai dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden. Undang-Undang Mahkamah Konstitusi juga mengatur batas waktu penyelesaian permohonan yang harus diputus oleh Mahkamah Konstitusi dalam waktu 90 hari setelah permohonan diregister, alat-alat bukti serta bentuk putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi. 

Mahkamah Konstitusi dalam melakukan pemeriksaan atas permohonan DPR diwajibkan untuk memanggil Presiden sebagai pihak dalam perkara untuk memberikan keterangan atau meminta Presiden untuk memberikan keterangan tertulis. Untuk hadir atau memberikan keterangan di hadapan Mahkamah Konstitusi, Presiden dapat didampingi atau diwakili oleh kuasanya.

Apakah terdapat perdebatan lebih lanjut, misalnya tanggapan kembali dari DPR serta tanggapan balik dari Presiden. Apakah Mahkamah Konstitusi dapat memeriksa kembali saksi-saksi yang sudah diperiksa di DPR atau menambah saksi baru, tidak diatur dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi.

Bila memperhatikan ketentuan hukum acara yang diatur dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi adalah terbuka kemungkinan bagi Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa kembali dan menilai bukti-bukti yang diajukan dan dapat memanggil saksi-saksi. Dengan demikian bukti-bukti yang diajukan oleh DPR dapat dinilai dan diuji kembali. Mahkamah Konstitusi dapat memangil kembali saksi-saksi yang pernah dipanggil di DPR serta dapat memanggil saksi-saksi baru. Dengan demikian, dalam pemeriksaan kasus usulan pemberhentian Presiden, Mahkamah Konstitusi tidak cukup hanya dengan memeriksa dan menilai dokumen-dokumen yang disampaikan oleh DPR. 

Dengan mempergunakan ketentuan Pasal 86 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, maka Mahkamah Konstitusi dapat membuat hukum acara tambahan sebagai pengaturan lebih lanjut untuk kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya. Di sinilah kesempatan bagi Mahkamah Konstitusi untuk mengatur lebih lanjut mengenai hukum acara dalam hal pemeriksaan atas usulan pemberhentian Presiden oleh DPR.

Memperhatikan proses pemeriksaan pendapat DPR di Mahkamah Konstitusi dan ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menentukan bahwa Mahkamah Konstitusi ”memeriksa, mengadili, dan memutus” dapatlah disimpulkan bahwa sesungguhnya proses pemeriksaan pendapat DPR di Mahkamah Konstitusi adalah sebuah proses peradilan yang tidak terbatas pada pemeriksaan dokumen semata-mata. Karena itu, pemeriksaan pendapat DPR itu dapat dilakukan seperti pemeriksaan dalam perkara pidana biasa. Hanya saja posisi Presiden bukanlah seperti posisi terdakwa dalam perkara pidana, akan tetapi sebagai pihak dalam perkara yang memiliki posisinya sejajar dengan pemohon yaitu DPR yang bertindak seperti ”penuntut” dalam perkara pidana. Dengan proses seperti ini, Mahkamah Konstitusi dapat secara obyektif  dan secara mendalam memeriksa dan mengadili perkara yang diajukan oleh DPR, terhindar dari kepentingan dan pandangan politik yang dapat saja subyektif dari DPR. 

Proses pemberhentian Presiden selanjutnya berada di lembaga MPR, setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang membenarkan pendapat DPR. Apa yang terjadi di MPR sesungguhnya adalah pengambilan keputusan politik untuk menentukan apakah Presiden layak untuk diberhentikan atau tidak. Tidak ada pemeriksaan kembali seperti halnya yang terjadi di DPR dan Mahkamah Konstitusi. Dalam persidangan itu, MPR hanya mendengarkan pembelaan terakhir dari Presiden setelah mendengarkan usulan pemberhentian dari DPR. Perdebatan yang mungkin terjadi hanyalah perdebatan di antara anggota MPR. Karena itu apakah Presiden berhenti atau tidak adalah sangat bergantung pada suara mayoritas yaitu 2/3 (dua pertiga) suara anggota MPR dalam sidang Istimewa MPR yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) anggota MPR. Di sinilah berlaku prinsip Salus Populi Suprema Lex (suara rakyat adalah hukum tertinggi). Dalam hal MPR tidak memberhentikan Presiden, bukanlah berarti MPR menganulir putusan Mahkamah Konstitusi yang membenarkan pendapat DPR mengenai adanya dugaan pelanggaran hukum oleh Presiden. Karena itu, Presiden dapat saja dituntut secara pidana melalui peradilan pidana biasa manakala terdapat dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh Presiden.  
Dalam:

Share:


Anda Juga Bisa Baca

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Copyright © SEPIL. My Simple Template: Simple Template Design